Ar Raudhah Sumenep

KETIKA CINTA ORANG TUA JUSTRU MENGHAMBAT PRESTASI (Membedah Dampak Kunjungan Berlebihan Di Pesantren)

KETIKA CINTA ORANG TUA JUSTRU MENGHAMBAT PRESTASI (Membedah Dampak Kunjungan Berlebihan Di Pesantren)

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama dan umum, tetapi juga mendidik kemandirian, kedisiplinan, dan kekuatan mental para santrinya. Berpisah sementara dari orang tua adalah salah satu proses yang harus dilalui santri untuk menumbuhkan karakter tersebut. Namun, niat baik orang tua untuk menunjukkan kasih sayang dan perhatian, jika diekspresikan dalam bentuk kunjungan atau pengiriman barang yang terlalu sering, ternyata bisa berdampak sebaliknya pada prestasi belajar santri.

Hubungan emosional antara orang tua dan anak memiliki daya rekat yang luar biasa. Kepedulian instingtif[1] demi keselamatan dan kenyamanan anak yang jauh dari rumah adalah reaksi orang tua yang sangat lumrah. Orang tua seringkali datang menjenguk, mengirim makanan, pakaian, atau kebutuhan lainnya, terkadang bahkan hampir setiap hari atau beberapa kali seminggu. Awalnya, kunjungan ini mungkin terasa menghibur bagi santri. Namun, dalam jangka panjang, kebiasaan ini justru bisa menjadi bumerang bagi perkembangan dan prestasi akademik mereka.

Dampak Negatif Kunjungan Berlebihan terhadap Belajar Santri

Beberapa dampak signifikan dari frekuensi kunjungan orang tua yang terlalu tinggi terhadap prestasi belajar santri antara lain:

  1. Gangguan Konsentrasi dan Ritme Belajar: Kehidupan pesantren memiliki ritme yang terstruktur, mulai dari bangun pagi, shalat berjamaah, mengaji, belajar di kelas, ekstrakurikuler, hingga istirahat. Kunjungan yang terlalu sering, apalagi jika tidak sesuai jadwal yang ditentukan pesantren, dapat memecah konsentrasi santri. Pikiran mereka menjadi teralih, menunggu kedatangan orang tua, atau justru merindukan orang tua setelah mereka pergi. Ritme belajar yang seharusnya fokus menjadi terganggu.
  2. Fluktuasi[2] Emosi yang Menguras Energi: Bertemu orang tua setelah beberapa waktu bisa menjadi momen yang membahagiakan. Namun, perpisahan setelah pertemuan tersebut seringkali menimbulkan rasa rindu yang mendalam dan kesedihan. Jika ini terjadi terlalu sering, santri akan mengalami fluktuasi emosi yang konstan[3]. Energi psikis mereka terkuras untuk mengatasi perasaan rindu dan sedih, bukan untuk fokus pada pelajaran, hafalan, atau kegiatan positif lainnya di pesantren.
  3. Menghambat Proses Adaptasi dan Kemandirian: Tujuan pesantren salah satunya adalah melatih kemandirian. Santri belajar mengurus diri sendiri, berinteraksi dengan teman dari berbagai latar belakang, menyelesaikan masalah tanpa campur tangan orang tua, dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Kunjungan yang terlalu sering, atau pengiriman kebutuhan yang instan, membuat santri tidak memiliki kesempatan penuh untuk berlatih mandiri. Mereka cenderung bergantung pada orang tua, dan proses adaptasi mereka dengan kehidupan pesantren menjadi lebih lambat atau bahkan terhambat.
  4. Memicu Kecemburuan Sosial: Di lingkungan santri, perbedaan perlakuan atau perhatian dari orang tua bisa menjadi sumber kecemburuan atau rasa minder. Santri yang jarang atau tidak pernah dijenguk, sementara teman sekamarnya hampir setiap hari mendapatkan kiriman atau dijenguk, bisa merasa sedih, iri, atau merasa kurang dicintai. Kondisi psikologis yang tidak stabil ini tentu akan berpengaruh negatif pada motivasi belajar mereka.
  5. Penurunan Disiplin dan Motivasi Internal: Ketika santri tahu orang tua akan sering datang membawa “hadiah” atau memenuhi segala kebutuhan mereka, motivasi internal untuk berusaha sendiri atau mengikuti aturan pesantren dengan ketat bisa menurun. Mengapa harus berhemat jika orang tua akan selalu mengirim uang? Mengapa harus mencuci baju sendiri jika orang tua bisa membawanya? Ketergantungan ini melemahkan disiplin diri yang seharusnya sedang dibangun.

Semua dampak di atas secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi pada menurunnya prestasi belajar santri. Konsentrasi yang buyar membuat mereka sulit menyerap pelajaran, hafalan Al-Qur’an atau kitab menjadi terbengkalai, partisipasi di kelas menurun, dan akhirnya nilai-nilai akademik pun anjlok.

Mencari Keseimbangan Antara Kasih Sayang dan Pertumbuhan Santri

Menyadari dampak negatif ini bukan berarti orang tua tidak boleh menunjukkan kasih sayang atau perhatian sama sekali. Justru sebaliknya, dukungan orang tua sangat penting. Namun, ekspresinya perlu disesuaikan dengan konteks pendidikan di pesantren.

Beberapa hal yang bisa dilakukan:

  • Patuhi Jadwal Kunjungan Pesantren: Pesantren biasanya memiliki jadwal kunjungan khusus. Memanfaatkan jadwal ini mengajarkan santri untuk bersabar menunggu dan menghargai waktu pertemuan.
  • Fokus pada Kualitas, Bukan Kuantitas: Gunakan waktu kunjungan untuk mendengarkan cerita santri, memberikan nasihat, motivasi, dan pelukan hangat. Kualitas interaksi lebih berharga daripada seringnya kunjungan.
  • Komunikasi dengan Pihak Pesantren: Jalin komunikasi yang baik dengan ustadz/ustadzah atau pengasuh. Mereka bisa memberikan informasi objektif tentang perkembangan santri dan memberikan saran mengenai cara terbaik untuk mendukung mereka.
  • Cari Alternatif Komunikasi: Manfaatkan teknologi (jika diperbolehkan pesantren) seperti telepon terjadwal, atau cara tradisional seperti surat, untuk tetap berkomunikasi tanpa harus datang fisik terlalu sering.
  • Percaya pada Proses dan Sistem Pesantren: Yakinlah bahwa pesantren memiliki sistem yang dirancang untuk mendidik anak menjadi pribadi yang mandiri, disiplin, dan berilmu. Percayakan sebagian proses pertumbuhan mereka pada pengasuh dan guru di sana.

Cinta orang tua merupakan karunia yang tak ternilai. Namun, seperti halnya pupuk pada tanaman, pemberian yang berlebihan justru bisa merusak. Di pesantren, santri sedang belajar menumbuhkan akar kemandirian dan batang kedisiplinan yang kuat. Kunjungan orang tua yang bijak, dengan frekuensi yang proporsional dan sesuai dengan aturan, akan menjadi air dan sinar matahari yang mendukung pertumbuhan mereka, bukan justru menjadi badai yang menghambat. Keseimbangan tersebut menjadi faktor penentu dalam mengoptimalkan pertumbuhan potensi belajar dan kepribadian santri. Mator Sakalangkong.

 

*penulis adalah kepala SMP Islam Ar-Raudhah Sumenep

[1] in·sting·tif a dng atau menurut insting; bersifat atau secara insting: bahasa harus dipelajari krn bahasa tidak bersifat

[2] Fluktuasi merupakan perubahan atau variasi dalam jumlah, nilai, atau kondisi tertentu dari waktu ke waktu.

[3] Konstan adalah tetap, tidak berubah, atau stabil dalam waktu atau keadaan tertentu.

Adm AR Media

Khadimul Ma'had

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Assalamu'alaikum.. Tim dukungan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!